Ibu Penjual Nasi Uduk Jadi Duta Lingkungan

Di balik hiruk pikuk kota Semarang, di sebuah desa kecil bernama Ngadirejo, hidup seorang petani tua bernama Darmo Wiyono. Usianya 67 tahun. Rambutnya sudah putih semua, kulitnya legam terbakar matahari, dan tangannya kasar oleh cangkul. mg4d Tapi yang lebih tajam dari cangkulnya adalah pikirannya. Dan yang lebih subur dari ladangnya adalah hati dan mimpinya.

Pak Darmo bukan petani biasa. Ia bukan hanya menanam padi dan jagung. Ia juga menanam nilai, ilmu, dan harapan—terutama untuk anak-anak kota yang lupa cara menyentuh tanah.

Mengharukan: Petani yang Pernah Lupa Diri

Dulu, Pak Darmo hanyalah petani biasa. Ia hidup dari sawah warisan orang tua, menanam sesuai musim, menjual hasil panen ke tengkulak, dan hidup pas-pasan. Ia merasa tak penting, tak berdaya, dan tak pernah didengar. Sekali waktu, ia sempat ingin menjual sawah dan pindah ke kota. Katanya, “jadi petani itu nggak ada masa depan.”

Namun segalanya berubah saat cucunya, Nando, yang tinggal di Jakarta, datang berlibur ke desa. Nando berusia 10 tahun, dan saat melihat lumpur sawah pertama kali, ia menangis ketakutan. Ia tak tahu bentuk padi. Tak tahu bahwa nasi berasal dari tanah.

Pak Darmo terdiam. Dadanya sesak.

“Bagaimana mungkin cucu saya sendiri tidak tahu tanah tempat dia lahir?”

Sejak saat itu, Pak Darmo bersumpah: ia akan mengubah cara pandang anak-anak kota tentang pertanian. Ia akan menjadikan ladangnya bukan sekadar tempat bercocok tanam, tapi juga tempat belajar kehidupan.

Menggugah: Ladang yang Menjadi Sekolah

Dengan berbekal tenda plastik, papan tulis kecil, dan beberapa cangkul ekstra, Pak Darmo membuka program “Sekolah Sawah”. Ia mengundang anak-anak dari kota, khususnya yang sekolah minggu atau libur panjang, untuk datang dan belajar bertani langsung di ladangnya.

Awalnya hanya dua anak tetangga. Tapi kabar menyebar. Kini, setiap bulan, puluhan anak dari sekolah-sekolah internasional, bahkan mahasiswa dari universitas swasta di Jakarta dan Bandung, datang ke ladang Pak Darmo untuk belajar.

Mereka diajari menanam padi, mengenali jenis tanah, membuat pupuk organik, hingga memanen hasil. Tapi lebih dari itu, mereka diajari mencintai alam, menghargai proses, dan tidak meremehkan makanan di piring.

“Anak-anak ini pintar, tapi mereka tidak pernah tahu siapa yang menumbuhkan nasi di meja makan mereka,” ujar Pak Darmo.

Menghebohkan: Viral karena Setetes Air

Salah satu kegiatan di Sekolah Sawah adalah “ritual nasi pertama”. Setelah menanam padi, setiap anak akan diberikan satu butir nasi dan diminta memakannya perlahan sambil memejamkan mata.

Suatu hari, seorang anak bernama Livia, kelas 5 SD dari Jakarta, tiba-tiba menangis saat melakukannya. Ketika ditanya kenapa, ia menjawab: “Aku baru sadar, ternyata makan itu nggak gampang. Ini butir nasi hasil dari keringat dan lumpur. Aku malu sering buang makanan.”

Guru yang mengantar mereka merekam momen itu dan mengunggahnya. Video itu viral. Jutaan orang tersentuh. Banyak yang menyebut Sekolah Sawah sebagai “tempat pembelajaran terbaik yang tak diajarkan di sekolah”.

Sejak itu, banyak media datang. Wartawan, selebgram, bahkan pejabat daerah. Tapi Pak Darmo tetap rendah hati. Ia menolak semua tawaran sponsor besar.

“Saya bukan jualan sawah. Saya menanam kesadaran,” tegasnya.

Menginspirasi: Membuat Anak-anak Kembali ke Akar

Tak sedikit anak-anak yang berubah setelah mengikuti program Pak Darmo. Ada yang kini rutin bertanam hidroponik di rumah. Ada yang membuat proyek pengolahan limbah dapur jadi pupuk. Bahkan ada yang bercita-cita menjadi agronom.

Beberapa sekolah mulai meniru konsep Sekolah Sawah dan membuat versi mini di halaman mereka. Pak Darmo tak mengklaim hak cipta. “Silakan saja. Semakin banyak yang sadar, semakin baik.”

Kini, ia mengembangkan kurikulum sendiri, dibantu oleh relawan mahasiswa. Ia mengajarkan pertanian regeneratif, permakultur, dan filosofi “alam adalah guru”.

Ia juga mengajak petani lain di desa untuk ikut membuka ladang mereka bagi kunjungan edukatif. Dengan bangga ia berkata, “Dulu petani dihina. Sekarang, ladang kami jadi kelas dunia.”

Penutup: Ladang Kecil, Perubahan Besar

Pak Darmo mungkin tak punya gelar sarjana. Ia tak pernah bicara di forum ilmiah. Tapi dengan tangan kasarnya, ia mengubah ribuan cara pandang. Ia menanam lebih dari sayur dan padi—ia menanam rasa hormat, kesadaran, dan cinta tanah air.

Di akhir musim tanam, ia sering duduk di pematang sambil memandang langit. Kadang, ia hanya tersenyum sendiri. Ketika ditanya apa yang paling membahagiakannya, ia menjawab:

“Ketika anak kota datang, menanam, berkeringat, dan pulang dengan hati bersih. Itu cukup.”

Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya soal buku dan kelas. Tapi juga tentang menyentuh tanah, merasakan lumpur, dan menyadari bahwa hidup ini tumbuh dari akar—bukan dari layar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *